
Di tengah derasnya arus transformasi digital, literasi digital bukan lagi sekadar keterampilan tambahan—ia adalah life skill yang menentukan masa depan. Bagi penyandang disabilitas netra, keterampilan ini bukan hanya membuka pintu akses informasi, tapi juga menjadi tiket untuk masuk ke dunia kerja, membangun kemandirian, dan berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial.
Namun, jalan menuju literasi digital bagi tunanetra masih penuh tantangan. Tiga faktor utama menjadi tantangan besar: stigma masnyarakat, minimnya keterampilan mengakses teknologi, dan rendahnya aksesibilitas website maupun aplikasi.
Stigma Masyarakan Tentang Tunantera dan Teknologi
Jika melihat saja tidak bisa, bagaimana caranya seseorang menggunakan komputer? Tampaknya, pertanyaan ini masih kerap dimiliki oleh kebanyakan orang yang belum pernah berinteraksi langsung dengan tunanetra. Secara logika memang agak mengherankan, tapi faktanya perkembangan teknologi kini memungkinkan seorang tunanetra mengoperasikan komputer secara mandiri.
Baiklah, sekarang sebagian orang percaya bahwa teknologi bisa membantu kemandirian tunanetra. Tapi apakah itu berarti tunanetra perlu menggunakan perangkat teknologi khusus, seperti laptop Braille? Jika ya, tentu laptop Braille itu jumlahnya terbatas dan harganya pasti mahal.
Kedua asumsi inilah yang biasanya membuat kebanyakan orang enggan melibatkan tunanetra dalam aktivitas publik, khususnya dalam bidang pendidikan dan pekerjaan. Padahal faktanya, saat ini tunanetra sudah dapat mengoperasikan komputer secara mandiri dengan bantuan perangkat lunak pembaca layar.
Tidak diperlukan perangkat khusus, mereka hanya perlu menginstalasi perangkat lunak pembaca layar pada komputer atau laptop mereka. Jika menggunakan perangkat lunak Non Visual Dekstop Access (NVDA), maka pengguna dapat mengunduhnya secara gratis. Pada perangkat berbasis iOS dan Android, perangkat lunak pembaca layar juga dapat langsung diaktifkan melalui menu pengaturan aksesibilitas. Dengan demikian, penyediaan perangkat lunak pembaca layar yang memandirikan tunanetra sebenarnya tidak diperlukan biaya tambahan.
Tertinggalnya Keterampilan Tunanetra Dalam Mengakses Teknologi
Bagi tunanetra di kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya misalnya, teknologi pembaca layar sudah menjadi hal biasa. Namun tidak demikian halnya bagi anak-anak tunanetra di luar Jawa. Masih banyak SLB di luar Jawa yang tidak menyediakan mata pelajaran komputer untuk siswa tunanetra. Ketersediaan jumlah perangkat komputer di SLB pun masih sangat terbatas, apalagi komputer yang dilengkapi perangkat lunak pembaca layar. Bukan hanya itu, jumlah pengajar di komputer yang dapat mengajarkan komputer kepada anak tunanetra di daerah-daerah pun masih terbilang langka.
Semua faktor ini membuat kesempatan anak tunanetra untuk mengakses teknologi menjadi tertinggal bila dibandingkan anak-anak seusia mereka yang non disabilitas. Jika anak generasi alpha yang non disabilitas sudah mulai mengakses teknologi sebelu mereka masuk sekolah, maka masih banyak remaja tunanetra usia belasan yang bahkan masih bingung bagaimana menggunakan laptop secara mandiri. Jika terus dibiarkan, pemuda tunanetra akan melambat untuk bersaing di era kerja modern yang serba digital.
Aksesibilitas Website dan Aplikasi yang Terabaikan
Berimbas dari ketidaktahuan masyarakat tentang adanya perangkat lunak pembaca layar, tunanetra sering kali tidak diperhitungkan sebagai pengguna website atau aplikasi. Alhasil, masih banyak website dan aplikasi yang kurang aksesibel terhadap perangkat lunak pembaca layar. Pasalnya, masih jarang pengembang website di Indonesia yang mengetahui, apalagi menerapkan standar internasional pembuatan website sebagaimana disusun oleh World Wide Web Consortium (W3C).
Idealnya, seorang tunanetra pengguna pembaca layar dilibatkan dalam uji coba pembuatan website dan aplikasi sebelum produk tersebut diluncurkan ke publik, bahkan mulai dari tahap perencanaannya. Sayangnya, hal ini juga masih sangat jarang dilakukan oleh penggiat teknologi di Indonesia.
Langkah Nyata Menuju Inklusi Digital
Jika hambatan-hambatan ini dibiarkan, anak dan pemuda tunanetra akan menghadapi masa depan yang timpang, tertinggal dalam kompotensi digital, sulit mengakses pendidikan dan pekerjaan, serta terpinggirkan dalam kehidupan sosial yang kini semakin berbasis teknologi.
Di era AI, big data, dan remote work; gap literasi digital bisa menjadi jurang yang memisahkan mereka dari peluang hidup yang setara.
Agar anak dan pemuda tunanetra dapat tumbuh menjadi generasi yang siap menjadi masa depan, diperlukan aksi bersama:
-
- Menggencarkan edukasi publik bahwa tunanetra mampu mengoperasikan teknologi.
-
- Memperbanyak pelatihan literasi digital sejak dini, termasuk di tingkat SD dan SLB.
-
- Peningkatan jumlah dan kompetensi guru komputer bicara.
-
- Meningkatkan edukasi pada web developer, programmer, dan perusahaan agar menerapkan standar W3C pada produk yang mereka hasilkan.
Masa depan anak dan pemuda tunanetra di era teknologi akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kita sebagai masyarakat memberi mereka kesempatan untuk belajar dan berkembang. Literasi digital bukan hanya tentang mengoperasikan gawai, tetapi membuka jalan menuju kemandirian, kreativitas, dan kesetaraan. Jika kita ingin melihat generasi muda tunanetra ikut bersinar di panggung dunia, investasi terbesar yang bisa kita berikan adalah akses pendidikan dan teknologi inklusif yang bisa kita mulai hari ini.
–
Penulis: Ramadhani Ray
Penyandang tunanetra low vision yang mulai menulis sejak 2011 ini pernah menulis cerpen, puisi, artikel, konten media sosial hingga menjadi kontributor buku antologi dan menulis sebuah buku solo non fiksi. Pemilik nama asli Hadianti Ramadhani ini pernah bekerja selama 7 tahun sebagai content writer di sebuah digital agency di Jakarta, 6 tahun menjadi social media manager di sebuah Yayasan Tunanetra, serta menjadi pengurus DPP Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) sebagai ketua Departemen Humas (2014 – 2019) dan Ketua IV bidang Litbang dan Publikasi (2019 – 2024). Ia dapat dihubungi melalui Instagram @ramadhani_ray.